Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang filsuf dan ahli filologi asal Jerman kelahiran tahun 1844. Beliau cukup terkenal karena kritiknya terhadap kekristenan dan prinsip kehidupan di Eropa kala itu, membuka jalan pemikiran baru dalam eksistensialisme dunia postmodern – Nihilisme Aktif.
Buku ini menceritakan kisah dari tokoh utama berumur 30 tahun bernama Zarathustra. Ia adalah nabi Persia kuno, pemimpin agama Zoroastrianisme. Pemilihan tokoh ini cukup ironis, mengingat tokoh aslinya yang terkenal sebagai orang yang menyebarkan konsep benar dan salah, diceritakan sebagai orang yang menentang konsep kebenaran mutlak.
Cerita diawali dengan Zarathustra yang ingin menyebarkan ajarannya terhadap masyarakat setelah sepuluh tahun tinggal sendirian di sebuah gua di atas gunung. Di hutan, ia bertemu dengan seorang santo tua yang membuatnya terkejut karena santo tersebut belum tahu kalau “Tuhan sudah mati.”
Sesampainya di sebuah kota, Zarathustra memberitahukan pada kerumunan orang di sebuah pertunjukan sirkus bahwa “Tuhan sudah mati”, serta kemudian menjelaskan mengenai konsep Übermensch – manusia tertinggi yang telah mencapai tujuan hidupnya, tanpa melalaikan dunianya.
“Tuhan sudah mati: sekarang yang kita inginkan – Übermensch, untuk hidup.”
Ungkapan ini ditulis Nietzsche dengan ironis. “Tuhan sudah mati” memiliki artian bahwa manusia sudah tidak bisa menggunakan ‘perisai ketuhanan’ dalam menilai kemanusiaan, mereka harus menjadi Übermensch.
Setelah mendengar Zarathustra, kerumunan menganggap Zarathustra sudah gila dan menertawakannya. Di waktu yang sama, seorang pemain sirkus terjatuh dari tali pertunjukan. Dalam keadaan sekarat, pemain sirkus ini mengakui ajaran Zarathustra dan meminta tolong padanya untuk dikuburkan. Zarathustra menyadari bahwa ia harus mengubah taktik dengan membidik individu tiap individu. Ia kemudian menemukan satu demi satu orang-orang yang akan dijadikan muridnya. Zarathustra mengajari murid-muridnya secara diam-diam, mendidik mereka menjadi Übermensch dengan harapan agar mereka bisa dijadikan contoh bagi masyarakat.
“Jiwa berkembang melalui tiga fase perubahan: Unta yang sengsara, singa yang cinta kebebasan, dan anak polos.”
Singa yang cinta akan kebebasan akan menghancurkan nilai-nilai kekeluargaan. Dengan begitulah, anak yang polos akan kembali membangun nilai-nilai itu.
Zarathustra mengajarkan bahwa manusia harus mengalahkan kepercayaan buta terhadap Tuhan. Hal ini dikarenakan kepercayaan tanpa dasar akan menjadikan manusia hanya peduli pada kehidupan setelah kematian, tanpa menghiraukan tujuan hidupnya di dunia sama sekali. Zarathustra lalu mengatakan kalau tiap kelompok memiliki nilainya masing-masing. Setiap kelompok memiliki kebenaran, tidak ada yang namanya kebenaran mutlak.
Murid-murid Zarathustra kesulitan untuk memahami ajarannya dan Zarathustra pun merasa kebingungan. Ia memutuskan untuk kembali ke guanya dan menyuruh muridnya untuk menyebarluaskan ajarannya. Ketika di gua, Zarathustra mendapatkan firasat kalau murid-muridnya memiliki pemikiran yang keliru mengenai hal yang telah diajarkannya. Ia merasa memiliki kewajiban untuk membenarkan mereka.
Bersama rekan hewannya, Zarathustra pergi menuju “Kepulauan Bahagia”, tempat di mana muridnya berada. Ia kemudian menemukan bahwa murid-muridnya telah mencoba menggabungkan ajarannya dengan ajaran kekristenan. Ia menganggap masalah ini sebagai kesalahan yang sangat fatal, karena dirinya berpikir kalau kekristenan mencegah manusia untuk mendekatkan diri dengan dunia dan diri mereka sendiri – sesuatu yang penting bagi seseorang untuk bisa menjadi Übermensch.
Zarathustra kemudian berkelahi dengan murid-muridnya yang menyesatkan ajarannya serta pendeta di gereja-gereja sekitar. Dia menyatakan kalau kekristenan dan ajaran sesat itu tidak akan bisa membantu manusia menjadi Übermensch. Ia juga menyerang penyair karena telah menuliskan syair-syair religius. Syair-syair ini ia anggap sebagai penyebab utama mengapa manusia buta akan surga dan mengesampingkan tujuan hidupnya. Tercapainya Übermensch bagi seluruh manusia akan membuat makna surga tidak penting lagi.
Zarathustra lalu menyadari kalau ia telah melakukan banyak kesalahan. Ia masih memiliki rasa kasihan terhadap manusia yang menyalahi dan menentang ajarannya. Rasa kasihan terhadap manusia ini mencegahnya dari tercapainya Übermensch. Keinginan untuk adanya kesamarataan hanya akan membebani manusia. Dihapusnya kemanusiaan dari hatinya menjadi solusi yang Zarathustra pikir tepat.
Zarathustra kembali ke gua di gunung tempat asalnya. Sesampainya di sana, ia jatuh sakit. Selama sakitnya, Zarathustra menyadari kalau sejarah manusia, kehidupan manusia secara keseluruhan sebenarnya hanyalah sebuah lingkaran – terus berputar mengulang apa yang telah terjadi. Dapat mengetahui hal ini membuatnya tenang. Ia beristirahat dalam damai di guanya selama bertahun-tahun tanpa ada gangguan dalam pikirannya.
Suatu ketika, Zarathustra terganggu oleh suara tangisan dari hutan. Setelah ditemui, ia memanggil orang-orang sumber suara tersebut sebagai “manusia unggul”. Manusia unggul yang merupakan pengikut ajaran Zarathustra ini ingin mendapat pencerahan dari Zarathustra untuk mencapai kedamaian yang telah Zarathustra rasakan selama bertahun-tahun. Manusia unggul ini adalah kumpulan dari dua raja, penyihir, ilmuwan, dan pendeta tua yang ingin mempelajari kebenaran mengenai dunia.
Ciri khas dari buku ini adalah penyampaian cerita yang ironisnya mirip dengan Alkitab. Sepanjang isi buku, mata kita akan disambut dengan jutaan analogi yang sama sekali tidak masuk akal. Mengesampingkan bahasa asli dari buku ini, bahasa Jerman, buku ini ditulis dengan gaya bahasa yang selalu berubah-ubah. Kadang bahasanya terstruktur, kadang seperti syair, kadang ironis. Tidak heran, 80 halaman pertama ditulisnya hanya dalam sepuluh hari.
Secara keseluruhan, buku Sabda Zarathustra adalah buku yang menarik. Banyak pelajaran yang bisa didapat dari buku ini, jika saja pembaca bisa memahaminya. Sayangnya, itulah kelemahan dari buku ini. Di waktu yang bersamaan, buku ini juga memberikan pandangan yang kemungkinan besar dianggap bertentangan dengan nilai-nilai konservatif, khususnya pandangan terhadap kehidupan setelah kematian. Oleh karena itu, buku ini sangat tidak disarankan untuk mereka yang belum familiar dengan karya Nietzsche lainnya. Bagi mereka yang sudah familiar, buku ini adalah sajian penutup yang tepat.