Kota Terbit : Jakarta
“Di Tanah Lada“ adalah novel karya
Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Gadis dengan nama yang sangat unik itu lahir di
Bandar Lampung pada 10 Oktober 1993. Namanya berasal dari kekaguman ayahnya
pada album The Rise and Fall of Ziggy Stardust and the Spiders from Mars
(1972) milik David Bowie dan film Zabriskie Point karya Michelangelo
Antonioni (1970) untuk nama belakangnya.
Ziggy telah menerbitkan lebih dari 26
buku fiksi sejak 2010, judul Semua Ikan di Langit dan Di Tanah Lada
merupakan novel terpopuler dan berhasil memenangkan Sayembara Novel Dewan
Kesenian Jakarta. Pada awal karirnya sebagai penulis, Ia menerbitkan karyanya
memakai nama pena, seperti Ginger Elyse
Shelley dan Zee. Hal itu karena ia belum merasa nyaman ketika dikenal sebagai
penulis. Ia juga merasa terganggu apabila orang-orang menghubungkan cerita
dengan dengan kehidupan aslinya.
Dilihat dari karya-karyanya, Ziggy memiliki keunikan dalam penciptaan karakter untuk setiap novelnya. Ziggy seringkali menempatkan karakternya dalam berbagai situasi sulit. Plot yang dibangun selalu ditulis dengan cara yang tidak terduga dan menarik, sehingga pembaca merasakan keingintahuan yang tinggi dan menyelesaikan novel dengan cepat.
Novel Di Tanah Lada
diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama yang mana merupakan salah satu
perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku fiksi dan nonfiksi.
Perusahaan ini berlokasi di daerah Jakarta Pusat dan Bandung.
Di Tanah Lada
menceritakah kehidupan sebuah keluarga dengan keadaan yang tidak harmonis.
Papanya suka melakukan kekerasan dan mamanya tidak berani untuk melawan. Novel
ini dikisahkan dari sudut "aku", Salva, gadis kecil berusia 6 tahun
yang memiliki kebiasaan unruk membaca kamus pemberian Kakeknya. Ia menjadi
pandai berbahasa Indonesia dan menguasai banyak kata yang mungkin sulit
dikuasai anak seusianya.
Cerita ini diawali dengan kematian
Kakek Kia yang membuat Papa Salva mendapatkan warisan dan mengambil keputusan
gila untuk pindah ke Rusun Nero. Katanya agar berada lebih dekat dengan tempat
kasino favoritnya.
Ketika orangtuanya mulai bertengkar,
Salva atau Ava, pergi ke warung makan dan bertemu dengan P – ya, Namanya hanya
terdiri dari satu huruf. P, seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun yang
selalu membawa gitar. Seolah takdir
memang tercipta untuk makhluk-Nya, mereka berbincang dan mendapati bahwa kisah
mereka hampir mirip. Mereka berpikir bahwa semua papa adalah jahat karena
melihat keadaan papa mereka masing-masing yang tidak karuan. Begitulah mereka
berdua bisa berteman. Namun tunggu, tampaknya dari kedua bocah ini juga tercium
bau cinta monyet!
P mengenalkan Kak Suri, wanita yang
tinggal di lantai atas kamarnya dan sering mengajarinya Bahasa Inggris, pada
Salva. Alih-alih memanggil nama ‘P’, Kak Suri kerap memanggilnya dengan sebutan
‘Prince’. Berikutnya adalah Mas Alri. Dia yang membelikan P gitar kecil. Namun
Mas Alri jarang menemuinya karena sering pergi lama, P tak tau kenapa.
Konflik dimulai saat Ava serta
mamanya pergi dari Rusun Nero untuk menemui om dan tante di hotel. Namun ava
Kembali mengunjungi Rusun Nero karena Ia tidak mau berpisah dengan Pepper –
Nama yang diberi Salva untuk P. Salva masuk ke kamar Pepper yang hanya terbuat
dari kardus kulkas bekas dengan berlapis koran serta bekas tirai tua
bergerombol di samping bantal yang sudah sangat lapuk. Pepper menunjukkan pada
Salva satu-satunya buku yang Ia miliki. Berjudul Le Petit Prince, buku itu merupakan
buku pemberian Mama Pepper yang sekarang tidak tahu ada di mana.
Nasib malang menghampiri mereka
berdua saat tendangan pada kardus dan kata-kata tak elok keluar dari mulut
seorang Gorilla, sebutan Salva untuk Papa Pepper. Si Gorilla murka Ketika
mengetahui Pepper berada di rumah. Ia menyiksa Pepper, memukul, mencaci, hingga
menyiksa dengan setrika panas yang ada di sebelahnya.
Keduanya berhasil kabur ke Kamar Kak Suri karena Salva mengayunkan gitar kecil milik Pepper pada dahi Gorilla itu. Pepper dibawa ke rumah sakit oleh Kak Suri dan Mas Alri. Setelah itu Pepper dan Salva kabur karena mereka tidak mau berpisah lagi dan mereka berencana pergi ke rumah Nenek Isma yang berada di dekat laut. Mulai dari menjual HP Pepper, makan sate, tidur di rumah Bu Wahyu si tukang sate, membawa sepeda Mas Suryo, dan kabur karena ketakutan akan dipenjara, kedua bocah itu tidak putus asa untuk sampai pada tujuannya.
Saat di terminal, mereka bertemu dengan Mas Alri. Dan Mas Alri menawarkan untuk mengantar mereka ke rumah Nenek Isma. Perjalanan panjang menuju tanah lada ini membuka ruang baru untuk Salva dan Pepper dalam memaknai kehidupan. Disuguhi dengan plot twist yang sangat tak terduga dan ending yang memilukan, membuat pembaca akan terseret arus pemikiran kedua bocah itu dan bagaimana isi kepala mereka yang penuh arti.
- Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti apa-apa (92) -
Novel Di Tanah Lada cukup menjadi perbincangan hangat karena menduduki peringkat 2 dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Ada beberapa keunggulan yang dapat ditemui dengan jelas. Seperti alurnya yang cukup mudah dipahami, sehingga pembaca dari kalangan manapun akan gampang untuk memaknai setiap kalimat dalam ceritanya. Selain itu, pada novel ini terdapat pesan moral yang bisa kita petik dan diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Novel ini memiliki cara penyampaian
yang khas. Dengan membaca sebuah kisah dengan point of view anak berusia 6 tahun, membuat kita tahu
betapa rumitnya isi pikiran anak kecil. Dan kita tidak bisa menghindari
keluarnya racauan khas anak kecil dari mulut Salva. Hebatnya, penulis mampu
membuat takaran yang cukup dalam penyampaian tersebut dan malah meninggalkan
kesan lugu kekanakan yang natural. Belum lagi perbincangan Salva dan P yang
seringkali membuat keluarnya tawa kecil dan cibiran ketika mereka memulai
obrolan seperti mereka sudah dewasa. Selain itu, plot twist di akhir
cerita yang benar-benar tidak terduga membuat pembaca hanya bisa ternganga.
Dapat ditemui ilustrasi gadis kecil
sebagai sampul dan di beberapa halaman dalam buku. Ilustrasi tersebut dapat
membantu imajinasi dalam memvisualisasikan sosok Salva, meskipun wajahnya tidak
terlalu jelas. Namun hal itu sudah menjadi daya Tarik dari novel ini.
Dengan beberapa kelebihan tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa juga terdapat beberapa yang dirasa ‘kurang’ dalam novel ini. Soal gaya bicara Salva yang kadang tidak runtut dan lebih seperti meracau. Dapat diakui kalau Dia memang cerdas dengan pemikiran yang kompleks, sama seperti P. Kadang karena hal itu, beberapa situasi yang seharusnya memiliki suasana yang menyedihkan menjadi kurang terasa dan kurang teresapi. Selain itu ketika Salva harus menjelaskan definisi dari suatu kata yang mungkin kita sebagai pembaca sudah tau, membuat sedikit bosan dan akhirnya memilih untuk tidak membaca bagian definisi tersebut.
Ciri khas Ziggy adalah keunikan dalam setiap karakternya. Seperti Salva, bocah enam tahun tapi cara dia menyampaikan isi otaknya sudah seperti bukan seusianya. Meski Dia anak cerdas, namun tetap dirasa kurang wajar anak seusia tersebut sudah memiliki pikiran serumit itu. Ditambah lagi ending yang wow membuat pembaca heran dengan jalan pikiran kedua bocah tersebut.
Novel ini mengemas dengan bagus bagaimana anak-anak mudah mengotak-kotakkan atau menggeneralisasi suatu kejadian karena mereka memahami permasalahan yang menimpanya dengan cara mereka sendiri. Papa Salva jahat, papa P jahat, maka semua papa di dunia ini juga jahat. Pembaca, yang mungkin berasal dari seluruh kalangan umur menjadi relate akan isu ini, berujung munculnya pola pikir bahwa kita harus memberi perhatian ekstra untuk anak-anak di sekitar kita karena anak kecil Cuma membutuhkan kasih sayang di setiap Langkah keemas an umur otaknya. Dan timbul harapan semoga tidak ada kejadian seperti Salva dan P di luar sana.
Dari
seluruh kelebihan dan kekurangan yang dimiliki novel ini, saya suka dengan gaya
tutur si penulis dan merekomendasikan novel Di Tanah Lada untuk dibaca.
Kisah yang menakjubkan, penuh pemikiran kecil, lumayan menguras emosi, dan rasa
trenyuh yang cukup, menjadikan buku ini sebagai bacaan yang menarik.
Penulis : Najwa Alina Ratrianuri/ 24